Dikutip dari situs resmi NU, Dosen UIN Walisongo sekaligus Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU, M. Rikza Chamami, menuliskan sedikit sejarah mengenai As'ad. Pria ini memiliki garis kerurunan dari Sunan Ampel Raden Rahmat, karena menjadi putra pertama dari KH. Syamsul Arifin atau dikenal sebagai Raden Ibrahim, yang menikah dengan Siti Maimunah.
As’ad menempuh pendidikan di Mekkah sampai usia 16 dan kembali mengaji di Jawa. Setelah kembali ke tanah leluhurnya, dia belajar di berbagai pesantren, diantaranya Pondok Pesantren Sidogiri, Siwalan Panji Sidoarjo, Kademangan Bangkalan, dan Ponpes Tebuireng.
Berbekal ilmu dari berbagai pesantren itu, As'ad meneruskan perjuangan ayahnya untuk membesarkan Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah, pada 1938.
Perjuangan As’ad dalam mengusir penjajah tak hanya terjadi saat menggerakkan massa untuk mempertahankan Surabaya. Sebelumnya pondok Salafiyyah Syafi’iyyah pernah diserbu pasukan Belanda. Berkat kegigihannya, sekitar 10 ribu santri dan warga sekitar bisa dievakuasi.
Kemahiran As’ad dalam seni perang juga dibuktikan dengan memenangkan pertempuran di Bantal Asembagus, dimana Belanda sempat mengepung markas TNI.
Jasa As’ad lainnya pada negara adalah ikut mendorong NU berasaskan Pancasila. Saat Pemerintahan Soeharto mewajibkan penggunaan Pancasila pada 1982/1983, NU merespon cepat dengan menggelar Musyawarah Nasional Alim Ulama di pesantren milik As’ad. Kemudian tepat 21 Desember 1983, Munas memutuskan menerima Pancasila dan revitalisasi Khittah 1926. Pada bulan Desember 1984 dalam Muktamar NU XXVII diputuskan asas Pancasila dan Khittah NU. Dan NU menjadi ormas pertama yang menerima Pancasila, demi keutuhan NKRI.
Source : http://fokus.news.viva.co.id
0 komentar:
Posting Komentar