Tak hanya mobil, sitaan barang koruptor yang pernah "mampir" di kantor
KPK, satu set meja makan, puluhan motor, dan bus. Belum lagi sejumlah
rumah, tanah dan bangunan lain juga pernah disita dari para koruptor
yang ditangani kasusnya. Penyitaan asset merupakan serangkaian tindakan
yang dilakukan oleh penyidik untuk mengambil alih dan menyimpan di bawah
penguasaannya, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak,
berwujud maupun tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Penyitaan terhadap suatu
benda dapat dilakukan jika benda tersebut memenuhi ketentuan sebagaimana
diatur dalam pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), yaitu :
- Yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
- Yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
- Yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
- Yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
- Yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Tujuan Penyitaan Aset Koruptor
Penyitaan
aset merupakan langkah antisipatif yang bertujuan untuk menyelamatkan
atau mencegah larinya harta kekayaan. Harta kekayaan inilah yang kelak
diputuskan oleh pengadilan, apakah harus diambil sebagai upaya untuk
pengembalian kerugian keuangan negara atau sebagai pidana tambahan
berupa merampas hasil kejahatan.
Proses penyitaan adalah suatu upaya paksa yang menjadi bagian dari tahap
penyidikan, sedangkan proses perampasan terjadi setelah adanya putusan
hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Pelacakan aset sudah dapat dilakukan sejak dalam tahap penyelidikan
Barang sitaan berupa uang maupun tabungan dalam rekening (diawali dengan
pemblokiran) akan ditampung dalam rekening penampungan yang dimiliki
oleh KPK. Sedangkan jika dalam bentuk non- uang (barang) disimpan di
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, atau disingkat Rupbasan.
Penyitaan juga berfungsi untuk mengamankan barang bergerak karena mudah
berpindah tempat dan berpindah tangan.
Fungsi Asset Tracing
Fungsi asset tracing
adalah melacak dan mengidentifikasi harta kekayaan tersangka maupun
pihak yang terkait dalam tindak pidana korupsi, serta memberikan
dukungan data kepada penyidik dalam upaya penyiapan pembayaran uang
pengganti. Hal ini sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 18 ayat (1) huruf b
bahwa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Pasca pengesahan UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (TPPU) yang baru yaitu UU No. 8 Tahun 2010,) KPK mendapat
legitimasi menangani TPPU (predicate crime : korupsi) sehingga kegiatan asset tracing juga diarahkan untuk:
- Mendeteksi sejak awal (sejak tahap penyidikan) seluruh harta kekayaan tersangka dan atau keluarga yang mencurigakan dan tidak sesuai dengan profilnya yang diduga sebagai hasil TPK;
- Hasil asset tracing digunakan selain untuk pembuktian TPK juga untuk menemukan indikasi TPPU.
Proses asset tracing
dilakukan sampai dengan tahap pelimpahan kasus ke pengadilan. Namun,
jika dibutuhkan, tak tertutup kemungkinan untuk membantu jaksa dalam
pembuktian di persidangan ataupun dalam pengembangan kasus lainnya.
Follow the suspect, follow the money and follow the asset.
Dalam setiap tindak pidana, setidaknya terdapat tiga komponen, yaitu
pelaku, tindak pidana yang dilakukan, dan hasil tindak pidana. Hal ini
kemudian mendasari penanganan tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan
dengan berbagai metode pendekatan. Pertama, pendekatan konvensional, Follow the suspect, yakni penanganan tindak pidana yang berprioritas kepada pelaku kejahatan. Kedua, follow the money and follow the asset,
yaitu penanganan tindak pidana yang berprioritas kepada hasil
kejahatan. Metode ketiga, adalah gabungan dari kedua metode diatas, yang
sampai saat ini dianggap paling efektif dan efisien dalam memberantas
tindak pidana korupsi.
Pembayaran Uang Pengganti
Pembayaran uang pengganti adalah upaya optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara. Pada follow the suspect, pelaku hanya dijatuhi pidana pokok, seiring dengan perkembangan kasus TPK, digunakan metode follow the money and follow the asset, untuk mengejar seluruh aset yang terkait dengan kasus TPK.
Dalam putusan pengadilan, kita mengenal 2 (dua) jenis pidana, yaitu
pidana pokok yang berupa kurungan dan/atau denda, juga pidana tambahan,
yakni pembayaran uang pengganti. Uang pengganti merupakan upaya yang
sangat penting dalam mengembalikan kerugian Negara yang ditimbulkan dari
tindak pidana korupsi tersebut
.
Penyelesaian tunggakan uang
pengganti dapat dilakukan dengan penyitaan dan pelelangan harta benda
terpidana atau melalui tuntutan subsider pidana penjara, atau hukuman
badan seperti yang diatur dalam dalam Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, yang menegaskan bahwa "Dalam hal
terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana
dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimal dari
pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan
lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan".
Dalam proses pembayaran uang pengganti, peran dari penyitaan aset
sangat penting, yaitu untuk mengunci harta kekayaan pelaku agar tidak
dipindahtangankan sampai dengan putusan inkracht. Melalui pidana
tambahan ini diharapkan mampu memberikan deterent effect secara
konkrit, karena tidak akan ada lagi terpidana yang masih dapat
berfoya-foya menggunakan hasil korupsinya di dalam penjara.
Source : http://acch.kpk.go.id
0 komentar:
Posting Komentar